Senin, 24 Oktober 2011

Pelangi

Inilah kisahku bersama mimpi yang aku tahu sampai nanti tetaplah sebuah mimpi dan yang bayangannya saja tak akan sempat kumiliki. Malah ia harus segera pergi, tetapi tetap ia yang aku pilih untuk kucintai hingga rasaku selesai. Namanya, pelangi.

Aku berkenalan dengannya, ia menyapaku begitu hangat. Sejenak terpikir jadi temannya pun tidak. Aku sudah dengar kabar dari kicauan burung pagi bahwa ia sudah tak sendiri. Tapi di akhir tahun ini ia jadi sering hadir di tiap hariku, melukiskan warna-warninya dalam senyumku. Aku pinta ia jadi teman gadis kecil saja, karena tak mungkin meminta permata yang sudah dibeli oleh jiwa yang lain. Semakin aku mengenali tiap garis warnanya, semakin aku terlarut dalam rasa yang semestinya tidak bertumbuh jadi bunga-bunga yang seakan begitu indah namun tangkainya berduri dan menggores luka begitu dalam bahkan bagi daun dan kuncupnya. Tapi terus saja ia mencoba menyentuh dinding-dinding hariku yang kelabu menjadi terlalu berwarna dengan canda tawa cerianya. Sempat aku inginkan pergi dari awal yang aku tahu akhirnya nanti menyapa luka. Terlalu manis kata-katanya dan aku tak bisa pergi karena hatiku sudah mulai terkait pada harapan-harapan yang aku tahu sungguh itu maya. Hampir setiap hari ia ajakku bermain bahagianya, aku layaknya kelinci kecil yang sedang meloncat-loncat girang bertemu kawan kesayangannya. Ketika akhir minggu ini tiba, kelinci kecil sadar kawannya harus pulang pada pemiliknya dan kelinci kecil bermain sendiri lagi. Begitu saja terus, dan semakin hari rasa-rasa yang belum pernah ada berdatangan menyapa dan jadi bagian dari kisah ini. Sayang dan luka jadi teman yang begitu akrab ketika berjumpa dengan kenyataan dan rindu yang tak bisa diungkap.

Cinta semakin dalam, begitu juga titik-titik lukanya. Aku dan dia terpaut rasa cinta yang sudah berbaur luka yang menganga. Betapa sakitnya ketika sadar bahwa aku hanya terlambat beberapa juta menit untuk mengenalnya sebelum ia terikat janji yang abadi. Ia pun bernyanyi dalam tangisannya karena luka ini semakin menyebar dalam langkah hati kami. Waktunya semakin menipis seiring harapanku yang semakin sadar cinta ini tak lebih dari mimpi yang melukai. Malam datang membawa bintang-bintang menemani aku yang sedang tersedu. Mereka sudah tahu, pilu hatiku yang terlalu merindu tapi ntah pada siapa mengadu. Tak ada nafas yang boleh tahu, karena permaisurinya bisa menyeretku dan semua jiwa akan meludahiku karena telah mengiyakan ajakan sang pangeran untuk menyelinap masuk ke dalam istananya.

Sadar kini sudah semakin dalam aku berpikir tentang kami. Kemana tujuan empat tapak kaki yang memapah cinta terlarang ini? Rasa yang bergejolak semakin menyeruak. Semakin terasa tembok-tembok yang membatasi rasa dan nyata. Aku sadar tak layak menjadi titik hitam di atas kertas putih cinta mereka. Tapi sayang ini sudah berbuah dan ia yang taburkan benih, juga menyiraminya setiap hari. Semakin banyak tanya dan ingin kami, semakin kami terdiam kaku membisu. Seiring mulai sendu nada yang terlantun, ia perlahan pergi bersama sunyi malam ini. Angin hembuskan pesannya untukku, yang isinya adalah kosong. Harapan maya saja tak terlihat. Ntah mengapa ia hilang begitu saja membawa senyumku, hatiku, harapanku bersama semua yang ia ukir dalam hariku. Mungkin ia kembali pada istananya, yang memang selayaknya ia berdiam disana. Tapi janji untuk mendekapku erat untuk pertama dan terakhir kalinya masih saja dalam anganku. Janji itu tersimpan di dalam lubuk ini, aku tunggu sampai janji itu bukan lagi janji dan ntah kapan.

Aku rindu, begitu rindu dengan suaranya dan cara ia mengungkap kasihnya. Aku merindu ketika teringat begitu ia bersemangat ceritakan harinya, ia keluhkan lelahnya, terlebih ketika ia merubah raut cakapnya menjadi murung sewaktu aku cerita tentang adam yang lain. Aku rindu ketika ia panggil aku “kelinci kecilku yang manis”, aku sungguh merindukan telepon genggamku menyala dan nomor rahasia itu memanggilku. Hatiku rindu saat ia menyudahi percakapan dengan mengucap “aku mencintaimu ratu kecilku”, begitu manis. Aku rindu ia yang begitu peduli dengan rasa sakitku, yang berlari kencang waktu mendengar ratu kecilnya terluka hatinya. Aku ingin ia kembali, yang mencuri waktu untuk menanyakan kabar ratu kecilnya yang masih terdiam menunggu ia menghampiri. Aku bertanya kemana ia yang selama ini berubah jadi begitu lemah ketika aku bilang ratu kecilnya akan berhenti mencintai dan pergi berpaling mesti hanya dusta. Aku merasa ia yang menyentuh, mengambil dan menjaga hatiku kini ntah menaruh serpihan hatiku yang sudah hancur dimana. Malamku hanya untuk mengadu kepada bintang, aku sangat merindukannya. Ntah bagaimana cara untuk ungkapkan dalamnya rasa luka dan rindu yang kini jadi sahabat detik-detikku. Kemana ia yang warnanya begitu indah? Kemana kelinci kawan kesayanganku? Mungkin tak pantas aku mengingini kami tetap bersama bermain dalam langit-langit yang kini semakin membiru dan hilang mentarinya.

Akhirnya sempat aku lihat ia melintas di depanku membawa senyuman yang berbeda, tak sama. Dan mentari terbenam, terbit kembali, terbenam dan terbit kembali. Aku temukan ia kembali di lorong itu, tapi kini warnanya semakin memudar. Berandai-andai apa gerangan yang ia lamunkan? Semakin saja luka-luka ini menertawakanku. Setiap aku punya satu kesempatan, itu hanya bisa untuk melihatnya dari sini bahkan senyumku pun tak sampai padanya. Bagaimana bisa aku bilang kelinci kecilnya merindukannya di tiap malam yang kini tanpa hadirnya? Sudah menjadi beribu kesempatan hanya untuk memandangi tapak kakinya semakin menjauh dan pinta aku untuk berhenti jadi kelinci kecil yang menunggu kawan kesayangannya untuk bermain kembali, ia sudah tak ada waktu untukmu kelinci kecil. Aku hanya bisa tertunduk menangis, perlahan memungut butir-butir air mata yang sudah terlalu banyak menyentuh lantai kisah ini. Mentari kembali terbenam bersama harapan yang memang tak pernah nyata. Sadar, hari itu semakin dekat dan ia sudah mulai melambaikan tangannya menyapa aku menghampiri. Aku takut. Aku takut. Aku takut. Bila esok benar-benar kutemukan ia tak mengenalku lagi. Bila esok sungguh kulihat ia memalingkan wajahnya dari kedua bola mataku. Bila esok aku kehilangan pelangiku, aku takut. Aku buka lembaran esok hari, ternyata bukan hari ini. Surat rinduku nampaknya telah sampai pada hatinya dan ia berikan sedikit lekuk senyumnya. Aku masih punya satu hari, kesempatan untuk bicarakan janji yang jadi teman malamku. Tapi ia bilang, kenyataan semakin menggerogotinya dan tak mungkin tepati janjinya. Aku diam dan pandangi kedua bola matanya begitu dalam, berharap ia tahu hatiku yang ia bawa pergi sudah hancur jadi serpihan yang tak berarti dan sudah berbaur dengan air mata yang tak hentinya menetes meski tak terlihat. Selalu saja aku hanya bisa diam bungkam ketika hanya aku dan ia. Ribuan kata yang ingin tersingkap hanya bisa jadi kerangka harapan yang tak bisa jadi nyata. Bibirku ingin bergerak dan berkata tapi tertahan jeritan hatiku yang aku tahu sedang menangis tapi ntah dimana. Hatiku mengadu padaku lewat tulisan surat-surat yang sudah basah karena titik-titik air matanya, katanya terluka terlalu dalam dan tak ada yang merawatnya lagi. Hatiku beritahuku, ia tak merawatnya lagi karena tak ingin nanti lukanya semakin besar dan tak mau nanti serpihannya semakin kecil. Kata hatiku, ia bilang sebenarnya ia masih simpan sepotong hatiku dan ia taruh di tempat yang tak mampu dilihat mata yang lain.

Kisah ini ntah berakhir dimana tapi yang aku rasa, hatiku sudah dibawanya pergi dan tak kembali. Hari itu aku bahagia meski hanya bicara antara dua jiwa yang seakan tanpa cinta, hanya saling memandang hampa. Bola matanya bergerak seakan tak mau lagi kembali menatapku dalam sehingga aku tak menangkap masih ada yang berarti. Sesekali aku sempat beranikan bicarakan rinduku lewat bahasa mata dan biar hanya ia yang mengerti. Tak ada jawaban, yang memanggil namaku hanya memori-memori. Kini kenyataan sudah saatnya kunikmati. Cinta ini cukup jadi satu di antara berjuta cerita dalam lembaran hari-hariku. Aku butuh waktu untuk biarkan jiwaku bernyanyi sendiri dan menanti kembalinya hati. Mungkin nanti ada yang temukan serpihan hatiku yang sudah dibuangnya karena tak mampu saling miliki, mungkin akan ada yang bisa menyatukan serpihan yang sudah tak terlihat jadi hati yang utuh kembali. Sampai detik tulisan ini selesai aku coretkan di atas kertas, masih ia yang aku cari. Ia yang aku rindukan, ia yang jadi warna di dalam mataku, ia yang mampu ukirkan senyuman tulus hatiku, ia yang jadi kekasih hati tak terungkap bagi jiwa yang lain, ia yang tak mampu kumiliki, ia mimpi, ia pelangi.

Aku hanya bisa terdiam, berdiri, memandang jauh dari sini. Dari tempat yang sudah tak pernah ia hampiri lagi. Dari dalam hatiku yang ia bawa pergi, yang sudah terlihat hanya seperti sekumpulan serpihan yang disatukan dengan harapan yang maya. Cinta pelangi padanya memaku kakiku, aku tak bisa bergerak menghampiri dan ungkap yang kusimpan terlalu lama. Cinta pelangi padanya mengurung hatiku, aku tak bisa buat semua rasa ini berhembus ke telinganya. Mata mereka, membuat kabut-kabut di depan mataku dan aku tak bisa sampaikan senyum rindu ini ketika aku melihatnya berjalan di depanku; dan hanya melihatnya melintas dan menghilang bersama kenangan. Tak adakah sepintas hasrat untuk menengok yang sedang menanti janji? Hati ini terlalu lama berteman dengan luka, bersahabat dengan harapan yang tak nyata, dan berbaur dengan titik-titik air mata. Detik yang sudah lalu seakan terus saja memanggil namaku dan buatku semakin sadari begitu dalamnya goresan luka. Aku hanya bisa menunggu hadirnya sambil senandungkan lagu kesayanganku dengannya dulu. Senyumnya bagai kristal yang mahal, sebab tak setiap musim dapat kunikmati. Ketika ia hadir pun aku hanya bisa memandangi indahnya dari sini, dari tempat yang tak terlihat mata mereka. Mata yang lain pun ingin melihat indahnya, bahkan sudah ada mata yang mampu memilikinya selamanya. Ia berikan aku arti yang lebih dalam tentang mencintai sesuatu yang tak akan pernah kumiliki. Sebenarnya aku berharap untuk tetap bermimpi dan tak terbangun dari lelapku yang luka, sehingga aku tak sampai pada hari ini.

“Semakin dalam aku mencintai, semakin aku sadar bahwa aku baru saja semakin dekat pada hari ini ketika aku harus kehilanganmu; pelangi.”

Ratu kecil menanti datangnya hujan deras yang membasahi dinding-dinding hariku yang begitu merindu hingga pilu dan berharap cahaya tajam menyeruak menyapa sisa-sisa rintik hujan yang basahi rasa luka ini, sehingga aku diberi kesempatan lagi untuk berjumpa dengan lekukan senyumnya atau bahkan hanya sekedar mengintip indah tiap goresan warna-warninya di dalam mataku yang berair mata. Dia, yang aku panggil pelangi.


Sumber : http://chananovia.wordpress.com/2011/02/15/pelangi-07-07-09/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar